(Group) Pelawak jadul

Warkop DKI

Memenuhi permintaan mas @lolak lolok saya megulas tentang The Legendary Warkop DKI. Tidak bisa dimungkiri, Warkop DKI boleh dikatakan salah satu Living Legend dalam dunia lawak. Group ini bermula dari sebuah acara radio yang digagas oleh Temmy Lesanpura, seorang produser hiburan radio Prambors di Jakarta. Saat itu adalah tahun 1973, dimana Temmy bertemu dengan Kasino (Kasino Hadiwibowo), Nanu Mulyono, dan Rudy Badil, mahasiswa UI yang memang terkenal suka ngelucu di depan teman-temannya. Temmy yang mengepalai Radio Prambors berhasil meyakinkan ketiganya untuk mengisi acara setiap hari kamis malam pada jam 20.30 sampai 21.15 WIB. Tak ada persiapan apapun, tetapi karena memang mereka menghibur dengan hati dan otak, ide-ide lawakan selalu muncul sebelum mereka siaran. Acara yang bertajuk “Obrolan Santai di Warung Kopi” tersebut terbukti bisa menarik perhatian para pendengar.

Setahun kemudian (1974), Dono (Wahjoe Sardono), seorang rekan mereka di UI bergabung bersama grup lawak tersebut. Mereka berempat cukup dikenal oleh penggemar radio Prambors dengan lawakannya yang segar dan berisi. Pada tahun 1976, Indro (Indrodjojo Kusumonegoro), seorang Mahasiswa Universitas Pancasila yang paling muda usianya diajak bergabung. Kelimanya kemudian dikenal sebagai punggawa acara Warkop Prambors yang populer di radio tersebut pada medio 1970an tersebut. Saat itu Warkop beranggotakan lima orang yaitu Kasino, Nanu, Rudy Badil, Dono, dan Indro sangat ramai diperbincangkan oleh publik, hingga akhirnya mereka ditawari untuk tampil di panggung.

Mereka mendapat banyak tawaran dalam berbagai kesempatan tampil di acara hiburan panggung. Lawakan mereka yang berkelas mahasiswa, tidak kampungan, ataupun pasaran, membuat mereka tampil beda dibanding grup-grup lawak lainnya yang telah lebih dahulu populer di tanah air.

Sayang pencapaian grup Warkop hingga kemudian menjadi terkenal dan menjadi legenda tidak dilalui bersama-sama oleh kelima anggotanya. Pada saat sudah naik di atas panggung, Rudy Badil selalu mengalami demam panggung yang tak bisa diatasinya. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari Warkop lantaran merasa demam panggung tersebut. Keempat rekannya meneruskan kiprah impian mereka dalam berbagai kesempatan yang mereka peroleh dalam dunia hiburan panggung, yang kemudian berlanjut pada rekaman kaset, dan film. Mundurnya Rudy Badil membuat ia sebagai satu-satunya anggota yang tidak terlibat dalam satupun film yang dibintangi oleh para anggota Warkop.

Kesuksesan dalam panggung kemudian membawa keempat personil ini masuk ke dunia rekaman kaset lawak yang mereka bawakan. Lawakan berkelas dan diselingi lagu-lagu jenaka menjadi ciri khas mereka. Kesuksesan dalam rekaman membawa mereka pada tawaran masuk ke dunia film. Film pertama yang mereka bintangi dalam bendera Warkop Prambors adalah film komedi yang berjudul “Mana Tahan”. Film tersebut rilis pada tahun 1979 yang juga menampilkan beberapa artis terkenal masa itu seperti: Rahayu Effendi, Kusno Sudjarwadi, dan Elvie Sukaesih. Kesuksesan film tersebut menyebabkan berlanjutnya tawaran film-film bergenre komedi berikutnya kepada mereka.

Namun perjalan karier itu hanya diikuti oleh Kasino, Dono, dan Indro saja. Nanu Mulyono, setelah sempat membintangi film Mana Tahan bersama mereka, nemutuskan mengundurkan diri. Ditinggal Nanu, Warkop hanya terdiri dari tiga orang dan grup lawak ini masih berjalan seperti biasa. Meskipun hanya bertiga, dipimpin oleh Kasino, mereka masih tetap bisa menghibur para penggemarnya. Ketiganya kemudian bahkan semakin berkibar dengan rentetan film-film komedi yang meledak di pasaran.

Untuk mengisi peran yang ditinggalkan Nanu, Warkop Prambors pada beberapa film mereka di awal tahun 1980-an sempat beberapa kali menggunakan beberapa pemain pembantu yang bisa mengimbangi mereka bertiga sebagai tokoh sentral komedi. Diantaranya adalah Dorman Borisman dan Mat Solar. Namun dalam perkembangannya mereka akhirnya lebih memilih tampil bertiga saja sebagai pemeran utama dan tokoh sentral dalam film-film berikutnya. Popularitas mereka bertiga semakin populer lewat film-filmnya yang semakin dikenal dan dicintai masyarakat.

Di luar Warkop, Nanu sempat membintangi sebuah film lain berjudul “Rojali dan Juleha” pada tahun yang sama. Setelah membintangi film itu, Nanu kemudian menghilang dari dunia hiburan. Ia menderita sakit yang cukup parah hingga akhirnya meninggal pada 22 Maret 1983 di usia 30 tahun karena penyakit sakit kanker ginjal. Nanu dimakamkan di taman pemakaman umum Tanah Kusir.

Dalam perkembangannya, mereka menpertimbangkan bila mereka terus memakai nama Prambors, maka mereka harus terus mengirim royalti kepada pemilik nama aslinya, Radio Prambors. Maka akhirnya mereka memutuskan mengubah namanya menjadi Warkop DKI (Dono-Kasino-Indro) untuk menghentikan praktik upeti tersebut.

Konsep lawakan Warkop sebenarnya sewaktu masih di radio dan kaset banyak mengusung kritik sosial dan jokes2 segar yang sebenarnya adalah cikal bakal dari Stand-up Comedy yang belakangan marak. Hal itu yang sebenarnya menjadi ciri khas Warkop, sayangnya begitu mereka merambah ke dunia film, gaya komedi mereka terjebak ke dalam komedi slapstick a la Charlie Chaplin dan The Three Stooges dengan sedikit dibumbui seks, sebuah resep yang nyatanya terbukti sangat manjur untuk keberhasilan film Indonesia. Film2 Warkop tak pernah sepi penonton dan hampir selalu full house.

Kesuksesan film Warkop mencapai masa keemasan setelah film Maju Kena Mundur Kena (1983) di tangan sutradara Arizal. Di saat itulah nama Warkop Prambors saat itu begitu melambung jadi jaminan kesuksesan film-film setelahnya. Sayangnya, belakangan diketahui bahwa adegan dan plot cerita dalam film-film mereka banyak menyontek serial televisi "Three's Company" yang diperankan oleh John Ritter. Selain itu, theme song Warkop yang iconic ternyata juga mengambil lagu :The Pink Panther karya Henry Mancini. Indro dalam salah satu kesempatan wawancara pernah mengungkapkan kenapa film-film Warkop tidak bisa diexport ke luar negeri karena tersandung masalah hak cipta lagu tersebut.

Dari sekian personil Warkop DKI kini hanyalah tinggal Indro yang masih hidup.

Log in or register to view this content!
 
Last edited:
D'Bodors

D'Bodors
adalah adalah grup lawak Indonesia. Grup lawak ini terbentuk tahun 1970an dengan formasi awal Raden Ahmad Yusuf Wargapranata (Abah Us Us,) Sup Yusup, dan Rudi Djamil. Pada tahun 1983 terjadi perubahan formasi dari D'Bodors dengan anggota Us Us, Yan Asmi (Uyan Suryana) dan Mang Kusye. Sejak perubahan formasi itu gaya melawak merekapun banyak berubah. Grup D'Bodors dalam menyajikan lawakan tidak hanya melalui kata-kata jenaka tetapi juga lewat lagu dan gerak, kadang juga tampil menggunakan alat musik tradisional calung.

Dari formasi tersebut kini hanya tinggal Mang Kusye yg masih hidup, setelah Yan Asmi meninggal karena stroke dan penyakit liver pada 29 Maret 2010 dan Abah Us Us menyusul 40 hari kemudian tanggal 8 Mei 2010 akibat penyakit jantung dan darah tinggi.

Log in or register to view this content!
 
Last edited:
Wolly Sutinah (Mak Wok)

Mak Wok lahir dengan nama Sutinah di Magelang pada 17 Juli 1915. Kedua orangtuanya seniman opera (sandiwara), yang masuk-keluar perkumpulan-perkumpulan opera dan kerap manggung dari satu kota ke kota lainnya.

Sutinah kecil kemudian dibawa orangtuanya yang manggung di Jakarta. Saat itu, di Jakarta semarak hiburan panggung. Sutinah rajin menonton pertunjukan. Terpikat dunia sandiwara, dia tak melanjutkan sekolah.

Saat usia 10 tahun, Sutinah sudah naik pentas. Karena orangtuanya tak memberi restu, dia mencuri-curi ikut main sandiwara, sebagai pemain ekstra, menyanyi, menari, dan mendapatkan peran kecil.

Buku Apa dan Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978 menyebut Sutinah pernah ikut dalam kelompok sandiwara Tionghoa bernama Sim Ban Lian yang kerap membawakan cerita-cerita klasik Tiongkok. Dari sinilah dia mahir silat dan memainkan toya, yang mengantarkannya berperan di film Pat Kiam Hiap (1933) dan Ouw Pe Coa (1934) besutan The Teng Chun.

Setelah itu Sutinah kembali ke dunia panggung, menggembara dengan berbagai rombongan sandiwara keliling. Dari panggung sandiwara ini pula dia bertemu Husin Nagib yang kemudian menjadi suaminya. Dari perkawinan inilah lahir Aminah Tjendrakasih, yang mengikuti jejaknya di dunia seni peran.

Dunia film tak benar-benar ditinggalkan. Dia sempat bermain di film Aladin dengan Lampoe Wasiat, Poesaka Terpendam, Koeda Sembrani, dan Panggilan Darah –seluruhnya dirilis tahun 1941.

Ketika pendudukan Jepang, bersama Tan Tjeng Bok, dia ikut sandiwara Bintang Djakarta. Dia juga sempat bermain di dua film, yakni Ke Seberang (1944) dan Jatoeh Berkait –keduanya tahun 1944.

Sempat kembali ke pentas selama masa revolusi, Sutinah kembali ke dunia film sejak 1950 dengan membawakan peran-peran kecil dan memuncak pada 1970-an.

Kenapa Mak Wok?

Sejak kecil, Sutinah biasa dipanggil “Wuk” ―yang merupakan panggilan kesayangan bagi anak perempuan di Jawa. Nama itu masih melekat ketika dia remaja, sehingga dipanggil “Wuk Tinah”.

Suatu saat Sutinah ikut rombongan sandiwara keliling untuk pentas di Filipina. Selama di sana interaksi dengan seniman setempat terjalin. Rupanya seorang sutradara sandiwara bernama Gary mengalami kesulitan mengucapkan panggilan “Wuk Tinah”. Menurut majalah Femina edisi 8 November 1977, sang sutradara kemudian memberikannya nama “Miss Wolly”.

Nama tersebut rupanya membawa hoki sehingga dilekatkan di depan namanya. Bahkan setelah puas keluar-masuk berbagai kelompok sandiwara, bersama suaminya, dia mendirikan perkumpulan sandiwara sendiri: Miss Wolly Opera –majalah Aneka, 1 Agustus 1954 menyebut Wolly Opera adalah milik orangtuanya. Di sini dia mematangkan segala bakatnya, dari menyanyi, menari, hingga melawak. Di dunia lawak, beliau pernah bergabung bersama Atmonadi dan Samsu membentuk trio SAW (Samsu, Atmonadi dan Wolly) pada era 70an.

Lalu, kenapa lebih dikenal dengan nama Mak Wok ketimbang Wolly Sutinah?

Ceritanya sederhana. Husin Nagib dan Roekiah, seorang aktris tenar, bersaudara angkat. Anak Roekiah, Rahmat Kartolo, kerap memanggil Wolly dengan sebutan “Mak”. Aminah Tjendrakasih juga memanggil Roekiah dengan sebutan yang sama. Bila Rahmat dan Aminah memanggil bersamaan, kompak Wolly dan Roekiah menyahut.

“Rupanya untuk menghilangkan kekeliruan itu, lalu panggilan Mak untuk Wolly ditambah Wuk, yang lama-lama berubah jadi Mak Wok,” tulis Femina.

Emak Bawel

Bisa dikatakan, tahun 1970 hingga 1980-an merupakan masa keemasan Mak Wok. Dia bermain di sejumlah film komedi yang dibintangi pelawak-pelawak ternama, seperti Ateng-Iskak, Bing Slamet, S. Bagio, Ratmi-B29, Benyamin S, dan Warkop DKI.

Mak Wok memang memegang peran-peran kecil. Namun, karakternya yang kuat, biasanya sebagai emak-emak rewel dengan logat Betawi kental, membuatnya dikenang orang. Sebanyak 100 judul film telah dibintanginya, walau tak satupun sebagai pemeran utama.

Karakternya di film-film Benyamin S mungkin yang paling diingat penggemar film. Di film-film itu dia nyaris menjadi pasangan abadi Hamid Arief.

Selain komedi, Mak Wok ikut bermain di film-film bergenre drama, horor, dan religi. Tapi tetap saja komedi lebih lekat dengan perannya. Bisa dikatakan, Mak Wok merupakan ikon emak-emak bawel tahun 1970-an. Karakternya bikin sebel, gregetan, sekaligus mengundang tawa.

“Film saya memang banyak, biarpun peranan saya kecil, hanya ikut ngeramein saja,” kata Mak Wok kepada Femina.

Di layar kaca, Mak Wok muncul di sejumlah program acara TVRI. Salah satunya serial Rumah Masa Depan garapan Ali Shahab.

Mak Wok tak pernah benar-benar meninggalkan panggung sandiwara. Sejak 1950-an dia masih kerap meramaikan pementasan teater. Bahkan dia ikut mendirikan Teater September pada September 1979.

Serangan jantung membuat Mak Wok wafat pada 9 September 1987 di usia 72 tahun. Padahal 12 jam sebelum wafat, Mak Wok masih sempat muncul bersama rekan-rekannya dari Teater September dalam drama komedia berjudul Kumpul Kebo di panggung Dunia Fantasi Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.

Wolly Sutinah alias Mak Wok dimakamkan di TPU Karet, Jakarta.

Log in or register to view this content!
 
Ratmi B29

Suratmi
(lahir di Bandung, 16 Januari 1932 – meninggal di Ujung Pandang, 31 Desember 1977 pada umur 45 tahun) atau yang lebih dikenal dengan nama Ratmi B-29 adalah aktris Indonesia yang sering tampil di film komedi di era tahun 1970-an. Dia mendapat nama Ratmi Bomber-29 dari Laksda TNI Wiriadinata, Wakil Gubernur DKI periode 1966-1977. Waktu itu, tahun 1960-an, Ratmi sering menghibur keluarga TNI-AU di Bandung.

Masa revolusi fisik, Ratmi turut ambil bagian jadi anggota Barisan Srikandi/Laswi dan anggota staf itu sersan dua. Setelah penyerahan kedaulatan, Ratmi mengundurkan diri.

Ratmi terlebih dahulu dikenal sebagai seorang penyanyi lagu-lagu keroncong yang dirintisnya sejak tahun 1943. Pada tahun 1947, Ia memasuki perkumpulan wayang orang. Sedangkan Ia mulai main film tahun 1961 sebagai figuran. Disamping itu, ia juga masuk dalam dunia lawak menggabungkan diri dalam grup “Tiga Djenaka” hingga tahun 1976. Kemudian ia membentuk grup lawak yang bernama Ratmi Cs. Kebanyakan film yang dibintangi adalah film komedi.

Ratmi memiliki tanda jasa Bintang Gerilya, SLPK I dan II, GOM I dan V.

Ia meninggal dunia ketika sedang menyelesaikan filmnya yang ke-27 “Direktris Muda” (1977) di Ujung Pandang dikarenakan serangan jantung secara mendadak. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata Jakarta Timur dengan upacara Kenegaraan.

Log in or register to view this content!
 
Warkop DKI
sayangnya begitu mereka merambah ke dunia film, gaya komedi mereka terjebak ke dalam komedi slapstick

betul, seperti pernah dibahas oleh mas @Erwan di sini

sepertinya sih terpaksa oleh keadaan & tuntutan pasar ya? seperti yg ditulis Dono di buku karyanya yg didedikasikan untuk kedua sahabatnya berikut:

Untuk sahabatku: Kasino dan Indro
Uang bisa membuat kita melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita sukai


mengusung kritik sosial dan jokes2 segar

di film2 mereka, Warkop masih berusaha menyelipkan kritik2 sosial, berikut bbrp contohnya (hasil google):
Log in or register to view this content!
 
betul, seperti pernah dibahas oleh mas @Erwan di sini

sepertinya sih terpaksa oleh keadaan & tuntutan pasar ya? seperti yg ditulis Dono di buku karyanya yg didedikasikan untuk kedua sahabatnya berikut:

Untuk sahabatku: Kasino dan Indro
Uang bisa membuat kita melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita sukai




di film2 mereka, Warkop masih berusaha menyelipkan kritik2 sosial, berikut bbrp contohnya (hasil google):

dalam film Mana Tahan (1980) Warkop mengangkat tema tentang gaya hidup kelas menengah yang senang berbelanja di pusat perbelanjaan seperti yang dilakukan Tante Mira. Padahal keadaan di sekitarnya, yaitu para mahasiswa yang indekos di tempatnya kekurangan biaya untuk melanjutkan kuliah. Sampai mereka mencari pekerjaan sambilan di tengah jadwal kuliah mereka.

Film Gengsi Dong menceritakan bagaimana kondisi sosial masyarakat perkotaan yang penuh dengan gengsi. Ini merupakan salah satu dampak negative dari pembangunan yang dilakukan terpusat hanya di Jakarta.

sumber

Kasino: Hukum mesti utamakan keadilan buat masyarakat?
Indro: Iya
Kasino: Ah saya gak pernah ngerasain begitu Pak
Indro: Nah itu gak boleh, harusnya begini, itu, e situ ngerasainnya lain?
Kasino: Ya, kadang-kadang adil, kadang-kadang kagak
Indro: Itu mah itung aja apes.

sumber
Betul Mbak, tapi sejak film Maju Kena Mundur Kena dan seterusnya kayaknya gak ada lagi kritik sosial disitu sudah murni isinya slapstick dan seksualitas.
 
mas @richie200671 , apa boleh ditulis tentang Trio Los Gilos (1953-1963), yang dari hasil quick google sepertinya merupakan perintis lawak gaya modern yang cerdas.

Thanks to threadnya mas @richie200671 saya baru mengenal sosok mang udel yang mungkin salah satu pioneer seniman/pelawak cerdas serba bisa; pelawak, aktor (beliau bisa main ukulele segala) plus juga berprofesi dosen FKG UI!
 
Trio Los Gilos

Memenuhi permintaan mbak @bebekhitam maka saya akan mengulas tentang Trio Los Gilos yang dibentuk oleh Drs. Purnomo dan Harjodipuro (yg lebih dahulu dikenal sebagai Mang Udel dan Mang Cepot) bersama dengan Bing Slamet.

Group lawak ini dibentuk tahun 1958 (ada versi yg mengatakan dibentuk 1953, tapi rasanya tidak benar karena tahun itu Bing Slamet baru mulai meniti karir sbg pelawak lewat lomba lawak nasional). Sebelumnya Mang Udel dan Mang Cepot sudah terkenal melalui acara Sepintas Lalu di RRI. Trio Los Gilos ini dianggap pelopor lawakan cerdas di Indonesia, yaitu grup lawak pertama yg melontarkan kritik sosial lewat canda.

Sejak berkiprah di duo Cepot-Udel, Mang Udel dikenal sebagai pelawak yang suka mengandalkan skrip alias olah kata, bukan semata bakat, apalagi olah tubuh atau selip lidah. Menurutnya, di luar negeri, pelawak macam Bop Hope atau Danny Kaye memiliki gag writer, sehingga mereka bahkan bisa melawak hanya dengan mengandalkan kata-kata.

“Gagasan Mang Udel mungkin dianggap terlalu maju pada zamannya. Padahal itu merupakan spirit yang sangat baik dan seharusnya menjadi salah satu pilar profesionalisme para pelawak Indonesia,” ujar Darminto M. Sudarmo.
Untuk urusan skrip, Mang Udel menyerahkannya kepada Mang Cepot, otak di balik lawakan-lawakan Los Gilos. Los Gilos kemudian dianggap sebagai pelopor lawakan cerdas yang penuh sindiran politik dan kritik sosial.

Namun mengikuti skenario tidak selalu mudah. Mang Udel menyebut ketidaksamaan daya tangkap dan kemampuan tak jarang membuat lawakan melenceng dari skenario. Bing seringkali jadi biang keladinya –sekalipun dari kekeliruan itu terkadang muncul kelucuan yang mengagetkan.
Menurut Darminto, Bing Slamet lebih mengandalkan spontanitas dan bahasa tubuh yang lebih komunikatif dan... berhasil. Gaya Bing ini tanpa sengaja menjadi preseden bagi pelawak penerusnya. “Mereka mungkin lupa bahwa Bing Slamet sebenarnya juga selalu menyiapkan konsep, hanya saja konsepnya tak tertulis. Inilah kisruh persepsi yang keterusan bahkan hingga saat ini,” ujar Darminto.
Spontanitas Bing inilah yang membuatnya segera jadi bintang Los Gilos. Dengan talentanya yang berlimpah, dia bisa berlagak bak perempuan atau anak kecil atau menyanyi dengan banyak logat dan lagu.

Selain melawak, ketrampilan Bing memetik gitar dan Mang Udel memainkan ukulele memberi warna dalam penampilan Los Gilos. Tak heran jika ada yang menyebut, “Trio ini mungkin bisa disebut sebagai kelompok lawak yang beresensi musikal,” tulis Rudi Badil dalam Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main. “Konon, nama Trio Los Gilos itu merupakan merupakan plesetan dari Trio Los Panchos, kelompok musik Meksiko yang ngetop di paruh era 40-an hingga 50-an.”
Los Gilos juga sempat bermain dalam film Raja Karet dari Singapura bersama sejumlah pelawak macam Kuncung, Poniman, D. Harris, dan Srimulat. Sayang, film ini tak laku.

Namun, Mang Udel dan Mang Cepot terikat pekerjaan kantor. Keduanya juga menganggap melawak sebagai sambilan. Trio Los Gilos, “tidak pernah 100 persen profesional,” ujar Mang Cepot, dikutip Kompas, 16 Desember 1972. “Itulah sebabnya kami tidak pernah bisa memenuhi permintaan main di daerah-daerah.”

Kegilaan Los Gilos dengan menirukan pidato Bung Karno dalam lawakan ikut andil dalam pembubaran Los Gilos. Orang di sekeliling Bung Karno, ujar Arwah Setiawan seperti dikutip Des Alwi dalam “Bing Slamet dalam Dunia Lawak Indonesia”, dimuat Prisma tahun 1988, tak senang. Padahal Bung Karno sendiri senang saja.

Setelah bertahan selama 5 tahun, Los Gilos bubar pada 1963. Mang Udel dan Mang Cepot kemudian membentuk kwartet bersama Mang Topo, sementara Bing Slamet membentuk Kwartet Jaya.

Log in or register to view this content!

Log in or register to view this content!
 
Last edited:
Bagito Group

Tidak lengkap rasanya kalau tidak menyebut Bagito Group di sini. Group ini bahkan termasuk dalam 7 group lawak legendaris di Indonesia bersama Bagio cs, Warkop DKI, Srimulat, Jayakarta Group, D'Bodors dan Kwartet Jaya.

Bagito konon adalah singkatan Bagi Roto (Bagi Rata), digawangi oleh kakak beradik Miing (Dedi Gumelar) dan Didin (Didin Pinasti) serta kawan mereka Unang. Kepopuleran mereka dimulai dari beberapa kali acara panggung dan siaran rutin BasoSK (Bagito Show Senyum & Ketawa) di radio humor Suara Kejayaan (yang juga membesarkan nama Patrio, Ulfa Dwiyanti, Alm.Taufik Savalas dan Komeng).

Nama Bagito menjadi semakin melejit ketika stasiun TV RCTI menayangkan acara komedi setengah jam Bagito Show. RCTI pulalah yang menjadikan mereka grup lawak paling mahal se-Indonesia melalui perpanjangan kontrak dengan bayaran konon mencapai 1 milyar rupiah, harga ini bisa dimaklumi karena acara Bagito Show memperoleh rating cukup tinggi dan bertahan cukup lama di layar kaca.

Bagito bisa dibilang sebagai suksesor Warkop DKI di ranah komedi, Miing yang menjadi founder Bagito pernah tergabung sebagai tim kreatif Warkop, baik itu sebagai figuran di acara radio, rekaman kaset ataupun film-film Warkop DKI. Pembagian peran dalam Bagito Group biasanya stereotype, Miing sebagai orang kampung yang ngotot, Didin sebagai anak orang kaya yang bertugas menjadi pemberi umpan lawakan dan Unang yang multitalenta sebagai tokoh kekanak-kanakan.

Belakangan group ini mulai memudar kepopulerannya terlebih dengan mundurnya Unang dr group ini. Namun setelah sempat vakum selama 15 tahun group ini sempat membuat comeback pada 2018.

Log in or register to view this content!
 
Last edited:
D' Kabayan

D' Kabayan
adalah salah satu grup lawak asal kota kembang Bandung yang terdiri atas 5 orang personil, yakni Aom Kusman (Kusman Kartanagara), Kang Ibing (Raden Aang Kusumayatna Kusumadinata), Suryana Fatah, Wawa Sofyan dan Mang Ujang. D' Kabayan muncul pertama kali pada kisaran tahun 1976, tepatnya setelah dibentuknya D' Kabayan saat Kang Ibing baru saja beres menggarap film Si Kabayan bersama Lenny Marlina (pemeran Nyi Iteung) dan Sofyan sharna (sang Sutradara) pada tahun 1975

Setiap personil memiliki ciri khas masing-masing dalam memerankan perannya. Kang Maman alias kang Ibing mewakili urang Sunda bersosok lugu, saking lugunya mampu membuat mangkel lawan bicara. Aom Kusman adalah sosok "playmaker", pengatur yang handal alur pembicaraan yang biasanya menjadi sosok paling 'waras' dalam setiap cerita, Suryana Fatah alias Babah Holiang adalah sosok etnis Tionghoa yang tak mau kalah, Wawa Sofyan alias mas Sastro menjadi kaum abangan Jawa yang sedikit pongah, terakhir ada Ujang lagi-lagi orang Sunda yang sekadar pelengkap dan pemberi umpan lucu. Yang paling menarik adalah tokoh Babah Holiang begitu hebat dimainkan oleh Suryana Fatah yg sebenarnya asli Leles, Garut dan sama sekali tidak memiliki darah Tionghoa.

Log in or register to view this content!
 
Pelita Group

Pelita Group
adalah sebuah grup lawak yang berjaya di era 1980an. Grup yg dikomandoi oleh Cholik Syarmani bersama dengan RonRon, Oedjang Syarif dan Darussamin mengusung ciri khas lawakan mereka yang mewakili keberagaman Indonesia. RonRon yang berperan dengan logat Padang, Cholik sangat kental berdialek Tegal, Oedjang Syarif dengan gaya bicara khas Sunda dan Darus berlogat khas Batak, walau selalu tampil mengenakan blangkon. Salah satu lawakan Cholik yg iconik adalah penyebutan Lapangan Banteng sebagai Bulakan Sapi Lanang, patung Selamat Datang sebagai Slamet Teka, dan Kampung Melayu sebagai Kampung Dangdut.

Grup ini mulai menurun pamornya setelah Cholik didera penyakit kanker hati, yg akhirnya merenggut nyawanya pada Juli 2010. Dalam sebuah wawancara ketika mengantarkan pemakaman rekannya Cholik, Darussamin mengatakan, "Kami senang susah selalu bersama. Ketika Pelita berjaya di era 80an, kami semua senang bisa terus kemana-mana naik pesawat, dikawal, ketemu pejabat, nginep di hotel berbintang." Darussamin sendiri wafat pada 2014 akibat stroke.

Log in or register to view this content!
 
Last edited:
Tomtam Group

Tomtam Group
adalah sebuah grup lawak yg dibentuk tahun 1976 oleh H. Nurul Qomar (Qomar), H. Anwar (Ogut), H. Kimung dan H. Firman. Group ini sempat sukses di era 1980an, terutama karena gaya Ogut yg selalu tampil dengan celana komprang dan berdasi besar serta selalu berbahasa prokem. Sementara Kimung dikenal dengan logat bataknya.
Sayangnya pada tahun 1990 Qomar keluar dari group ini dan membentuk 4 Sekawan bersama Ginandjar, Derry dan Eman. Sejak itu group ini mulai menurun popularitasnya dan para personel tersisa mulai mencoba bersolo karir.
Kimung meninggal dunia pada 2016 akibat komplikasi penyakit jantung dan stroke, dan terakhir Firman wafat pada September 2019, namun tidak jelas penyebabnya.

Log in or register to view this content!
 
Gideon Group

Gideon Group
adalah sebuah grup lawak yg tidak berumur panjang namun personil nya menjadi terkenal justru pasca grup ini bubar. Dibentuk pada akhir 1980an oleh tiga personil asli yaitu Ginandjar Soekmana, Derry Sudarisman dan Sion (nama Gideon adalah gabungan dari ketiga nama mereka), belakangan turut bergabung pula Abdul Azis (lebih dikenal sbg. Jimmy Gideon). Jimmy Gideon adalah adik dari Ogut Tomtam Group. Pada tahun 1990 grup ini ditinggalkan oleh 2 personil nya Ginandjar dan Derry, untuk bergabung dengan Qomar dan Eman membentuk grup 4 Sekawan.

Selanjutnya sempat masuk Habil dalam grup ini dan bertiga mereka mencapai puncak popularitas gara-gara sinetron serial "Gara-gara" di RCTI, namun mereka bukan populer karena lawakan mereka tapi karena memang serial Gara-gara memperoleh rating yg tinggi.

Log in or register to view this content!

Log in or register to view this content!
 
4 Sekawan

Group ini dibentuk pada tahun 1991 oleh Qomar, Ginandjar, Derry dan Eman. Sebagaimana Gideon Group, sebenarnya grup ini bukan terkenal karena aksi lawak mereka di panggung, tetapi lebih karena saat mereka membintangi sinetron komedi "Lika Liku Laki-laki" (4L/Lili-Lala).

Setelah sinetron tersebut usai penayangannya, semua personil sibuk dengan karir masing2. Qomar maju sebagai politikus dr Partai Demokrat, Ginandjar dan Eman bersolo karir di panggung lawak, Derry fokus menjadi artis sinetron yg sukses dalam "Tukang Bubur Naik Haji".

Log in or register to view this content!
 
Last edited:
Back
Top