Saya lupa dulu di salah satu radio menyiarkan acara model obrolan warung kopi, dan pertemanan antar suku Banyumas, Surabaya, Madura, Batak, Sunda, Padang, Betawi dan Tionghoa... Mereka saling debat kusir dengan logat dan tipikal pekerjaan masing2 yg suka bikin terpingkal2..
Skenarionya gini,
Si Betawi pemilik warung kopi, ibu2 bernama Mpok Midun, sering jadi pemulai pembicaraan dan celetukan serta latah dan makianya yg kocak.
Si Padang pemilik warung nasi padang, namanya Uda, selalu bersaing secara sehat dengan si Mpok Midun, kadang suka mengeluh tentang harga pangan yg meningkat.
Si Batak pengemudi Metro Mini namanya Poltak, kadang ditemani kondekturnya yg suka mengacau obrolan dengan slonong sana sini dan out of topik, yg akhirnya membuat si Uda kesal bukan kepalang.
Si Madura pedagang sate alim yang ramah khas Madura, bicaranya seperti ustad, tetapi sering disalah artikan oleh Mbah Pur dari Banyumas..
Buntutnya ribut, dan dilerai oleh Nanang, tukang kredit asal Tasik yg (selalu) kebetulan lewat.
Mbok Ratim, janda asal Surabaya yang jualan pecel keliling, selalu ngotot dan gak mau kalah debat dengan semuanya, walau pada akhirnya nawarin pecel...
Paling kocak kalau si Bubun, Tionghoa lucu (kadang ada kemenakannya, si Meimei) ikutan nimbrung.. udah pasti terpingkal pingkal saking kreatif dan lucunya mereka itu...
Coba obrolan warung kopi model gitu ada di jaman sekarang.... Tapi kayaknya ngga mungkin sih kalau melihat situasi kondisi toleransi pandangan jangkauan, dimana komisinya cocok (yang ini jangan disingkat).