Hobi: Baca Buku

sayangnya banyak toko buku tutup yah , padahal klo udah stress bisa rekreasi ke toko buku, walau beli buku paling 1-2 tapi muter2nya lama
bazar buku di mall2 juga sepi
 
cuma dikumpul2 aja, tapi malah ngga diapa2in (Pengalaman pribadi), kalo itu berbentuk fisik mungkin jadi barang buluk yg penuh debu dan rayap, kalo softcopy emang aman tapi jadi mubazir,
Fenomena menumpuk buku itu sendiri dalam bahasa Jepang dinamakan Tsundoku yang memiliki arti ‘Keadaan dimana seseorang memiliki atau menumpuk banyak buku, akan tetapi tidak dibaca’.
Istilah "Tsundoku" muncul di media cetak sekitar tahun 1879. Di Jepang, istilah ini pada awalnya digunakan sebagai sindiran terhadap guru-guru yang memiliki banyak buku tetapi tidak sempat membacanya. Namun, dalam perkembangannya, tsundoku tidak lagi memiliki konotasi negatif. Sebaliknya, semakin banyak orang yang mulai melihat nilai dari kebiasaan ini, terutama dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan literasi dan pengetahuan. Menumpuk buku yang belum dibaca sebenarnya dapat menciptakan ruang intelektual yang memungkinkan seseorang untuk terus berkembang dan memperkaya dirinya.
488943040_1061342649364375_5163534148123357895_n.jpg

Dalam buku The Black Swan dikenal konsep anti-library yg menunjukkan bahwa buku-buku yg belum dibaca memiliki nilai sangat besar karena mereka mewakili semua hal yg belum kita ketahui. Dengan melihat koleksi buku yg belum dibaca di rak, kita diingatkan akan betapa banyak hal yg belum kita pelajari, sehingga mendorong rasa ingin tahu dan semangat untuk terus belajar.

Dengan memadukan konsep tsundoku dan anti-library, kita bisa memahami bahwa kebiasaan menumpuk buku yang belum dibaca tidak perlu dianggap sebagai beban atau sumber rasa bersalah, melainkan sebagai sumber motivasi untuk terus belajar.
Kebiasaan literasi yang baik bukan hanya tentang seberapa cepat kita bisa membaca buku, tetapi juga tentang bagaimana kita mempertahankan minat baca secara konsisten sepanjang hidup. Tsundoku memainkan peran penting dalam hal ini dengan menjaga kehadiran buku di lingkungan kita sehari-hari, meskipun belum dibaca. Kehadiran buku fisik ini menjadi pengingat visual untuk terus membaca dan memperluas pengetahuan.
Tsundoku bukanlah tanda kegagalan atau kemalasan dalam membaca, melainkan cara untuk meningkatkan literasi, memperluas wawasan, dan menjaga semangat belajar yang berkelanjutan. Dengan mengadopsi kebiasaan ini, kita tidak hanya memperkaya koleksi buku kita, tetapi juga memperkaya diri kita sendiri dengan berbagai ide, perspektif, dan pengetahuan baru.
Salam literasi sejuta referensi
 
pas domoli dan pak janggut buka2 buku dongeng di mana yg baca bisa ikutan nyemplung dalam cerita.
jadi ingat adegan ini yg menggambarkan buku2 yang sudah dibaca o/ Domoli dipajang dalam rak yg sepertinya di sebuah perpustakaan/home library:

domoli.JPG
saya kadang membayangkan semacam rak buku/perpustakaan imaginary di dalam kepala kita masing2, di mana setiap buku yg telah kita baca masuk ke sana. Dan ini selalu di ingatan (tak akan terlupakan/hilang), walau gak ingat judul/cerita/pengarangnya, kalau lihat lagi komik panel tertentu atau baca lagi, pasti kita ingat kalau dulu semasa kecil kita pernah baca buku/cerita tsb. Jadi kapasitas rak buku imaginary ini seperti gak ada batasan space, bisa terus ditambah indefinitely dan otak kita akan dengan sendirinya mengorganise buku2 tsb dan menyediakan tempat u/ buku/bacaan baru. Memang human brain ajaib.

Kalau seperti koh @Feffendy yang udah banyak terjemah, rak buku imaginarynya bisa puluhan/ratusan jumlahnya (mana kalau terjemah kan gak bisa baca asal dan diskip2), harus benar2 dibaca dan dipahami.
 
Senang kalau bisa beli buku lalu baca. Tapi rumahnya nggak muat. Rumah jaman sekarang semakin kecil, harga tanahnya nggak ngotak hehehe
Satu²nya toko buku franchise yg masih buka cuma Periplus, itupun buku impor semua, akhirnya yg beli ya cuma orang yg fasih bahasa Inggris. Tobuk macam Gramedia semakin berkurang jumlahnya. Tobuk² lawas (Gunung Agung, Sari Ilmu) sudah lama berguguran. Rental buku (walau cuma komik dan novel) sudah hampir punah. Tobuk besar macam Togamas dulu ramai sekarang sepi. Sepertinya minat baca kita pada buku memang menurun?
Tapi masih ada Perpusnas yg gratis, lumayan sih kalau lagi butuh acuan ringan dan novel. Ada buku² yg laris sampai harus antri.
Kalau misal ZD jadi rental komik online, kira² secara hukum apakah bisa pakai prinsip yg sama dgn Perpusnas ya? Sepertinya menarik, terutama karena saya tidak paham caranya jadi cuma bisa berkhayal.
 
Dua anak saya masuk rumah sakit karena DB. Yg sulung sudah boleh pulang karena trombosit sudah mulai naik. Adiknya masih dalam pemantauan karena trombosit masih turun.
Pastinya bawa buku buat bekal.
Log in or register to view this content!
 
Back
Top