Masa kecil saya dahulu suka nyosok iwak. Caranya, satu anak pakai cikrak (pengki yg terbuat dari anyaman bambu) mencegat aliran air di hilir dan satu anak menggiring ikan di hulu. Jangan bayangkan hulu dan hilir ini jauh ya, paling jaraknya 5-10 meter saja. Ikan-ikan yang terperangkap biasanya betok (yg durinya besar dan tajam), sepat (yang durinya relatif kecil tapi dagingnya tipis), mujair, kutuk, lele; semua ikan yang malang itu dimasukkan ke dalam ember. Anak penyosok iwak adalah musuh bersama pak RT, bu RT dan bapak ibu yang rumahnya di sekitar selokan karena biasanya hasil sosokan berupa lumpur campur sampah (daun, ranting, dan kulit keong) akan dilempar ke tepi selokan sehingga dianggap mengotori lingkungan. Ikan-ikan yang bergelimpangan akan diambili dengan tangan dan dimasukkan ke ember. Selanjutnya ikan akan dibawa pulang untuk digoreng atau dibakar di abu pawon. Biasanya kucing-kucing sudah menunggu dengan setia, siapa tau kebagian seekor dua ekor ikan matang.
Ketika saya sudah agak besar, saya dan bapak saya suka memancing ikan di selokan yang sama, diikuti kucing saya yang tugasnya menangkap ikan di ujung pancing. Kami membawa ember kaleng cat sebagai wadah ikan yang sudah tertangkap. Ikan-ikan korban pancing kami bawa pulang untuk digoreng sebagai lauk kucing. Kalau ikannya besar sedikit, jadi lauk orang. Kucing cukup dapat ikan kecil saja.
Hobi menangkap ikan ini kadang dilanjutkan jam 10 malam sebagai kegiatan ilegal menyetrum ikan di selokan maupun rawa kangkung. Bapak saya bertugas membawa aki dan setruman, sedangkan saya membawa serok dan ember. Kali ini kucing saya tidak ikut karena dia masih terlalu kecil, dia sudah tidur dan besok harus sekolah.
Sekarang rawa kangkung tempat saya biasa menangkap ikan sudah tiada, karena airnya sudah hilang, berganti menjadi pekarangan yang ditanami pepohonan. Rawa kangkung di belakang rumah saya sudah jadi parkiran mobil, sedangkan rawa kangkung di samping rumah kakek saya sudah menjadi dua buah rumah.
Selokannya juga sudah hilang karena ditutup rapat dengan cor-coran semen. Tak ada lagi selokan terbuka tempat anak-anak bisa nyosok iwak atau memancing. Karena badan air terbuka sudah banyak berkurang, tak ada lagi kunang-kunang dan capung. Kedua serangga lucu itu, setau saya, berkembang biak di dalam air.
Capung yang hendak kawin, biasanya menari-nari mencari perhatian pasangannya seperti sedang cebok (menciduk air dari permukaan sehingga menciprat kemana-mana) sehingga orang yang malas mandi dan mandinya asal-asalan seringkali disebut "aduse kaya jantrung cebok" alias mandinya seperti capung cebok.
Kalau nyamuk sih, masih banyak.