Termasuk angkatan 45, bersama sastrawan Chairil Anwar
Masih ingat puisi “Karawang-Bekasi” yg ditulis oleh penyair Chairil Anwar itu? Kali ini tidak dibahas sosok penyair itu tapi dibalik tragedi judul puisi tersebut.
Pembantaian yg dilakukan tentara Belanda pada 9 Desember 1947 di Rawagede, tepatnya desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, terletak antara Karawang dan Bekasi menewaskan 431 warga. Alasan Belanda membunuh warga Rawagede sangat kuat, yaitu ingin menangkap Kapten Lukas Kustaryo, komandan kompi Divisi Siliwangi yg seringkali merepotkan tentara Belanda. Berkat kecerdikan dan kecermatannya, Lukas berhasil menumbangkan cukup banyak tentara Belanda atau KNIL dengan berbagai cara. Karena aksinya itu, pasukan militer Belanda yg bertugas di sekitar Karawang-Bekasi menyebut Lukas sebagai Begundal Karawang.
Ketika menjabat sebagai komandan kompi, ia dikenal sebagai pejuang yg gagah berani dan memiliki banyak taktik untuk mengalahkan musuhnya, yaitu Belanda. Salah satu contohnya, Lukas kerap memakai seragam pasukan Belanda untuk membunuh mereka secara tiba-tiba. Selain itu, ia pernah membajak rangkaian kereta yg berisi persenjataan. Lukas juga sangat gesit, sehingga kerap lolos dari sergapan Belanda.
Kala itu, Lukas lari ke Rawagede dan mengumpulkan tentara Barisan keamanan Rakyat (BKR) sehari sebelum kejadian untuk merencanakan penyerangan tentara Belanda di Cililitan. Selain faktor Lukas yg piawai merebut senjata Belanda, membajak kereta yg berisi senjata dan amunisi. Daerah Rawagede memang sudah lama menjadi incaran Belanda, sebab di daerah tersebut terdapat lima laskar pejuang, di antaranya Macan Citarung, Barisan Banteng, Hizbullah, MPHS dan SP 88.
Pada saat itulah, 300 tentara Belanda yg dipimpin Mayor Alphons Wijnen masuk ke Rawagede ingin menangkap Kapten Lukas Kustaryo. Namun, Lukas telah melarikan diri dan keluar dari Rawagede satu jam sebelum Belanda membumihanguskan Rawagede pada sore harinya. Tak lama kemudian, sebagai penyair Chairil Anwar tak lupa mencatat tragedi tersebut ke dalam puisi “Karawang-Bekasi” pada tahun 1948
.
Fons pun mencari2 Lukas di sana, tetapi ia sangat sulit ditemukan. Saking sulitnya, Fons sampai menghargai kepala Lukas sebesar 10.000 gulden bagi siapapun yg berhasil menemukannya. Namun, tidak ada satu pun yg berhasil menemukan jejak Lukas. Oleh sebab itu, militer Belanda memutuskan untuk mengumpulkan dan menghabisi laki2 di Rawagede yg dianggap proRepublik.
Mengetahui kondisi itu, Lukas merasa berduka karena banyak penduduk sipil yg dibunuh tentara Belanda yg kesulitan menangkapnya.
Lukas sendiri juga kehilangan banyak anggota kompinya selama bergerilya di sekitar Karawang-Cikampek. Jumlah anggota kompi Lukas yang sebelumnya berjumlah ratusan orang tinggal tersisa sekitar 40 orang. Hingga militer Belanda hengkang dari Indonesia, Lukas masih belum juga tersentuh oleh para pengincarnya. Kabarnya, selama Belanda mencari Lukas di Rawagede, ia bersembunyi di Desa Pasirawi selama satu minggu, yg hanya berjarak sejauh dua kilometer dari Rawagede. Berkat keberanian, kecerdikan, dan kegesitannya, pasukan militer Belanda yg bertugas di sekitar Karawang-Bekasi menyebut Lukas sebagai Begundal Karawang.
Kenang, kenangkanlah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.
Antara Karawang-Bekasi, berpijar gelegak api nasionalisme, bahwa Indonesia sebagai bangsa adalah harta tidak ternilai sehingga rela ditebus dengan kematian sekalipun. Di antara Karawang-Bekasi ada seruan penuh harap para pahlawan tanpa nama dari “hening di malam sepi”, bahwa
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir.
Teruskan jiwa kami, adalah harapan bahwa generasi penerus bangsa dapat melanjutkan gelora nasionalisme para pahlawan yg telah mengorbankan nyawa demi pangsa. Para penerus bangsa diharapkan dapat mengasah rasa memiliki dan mencintai Tanah Air.
Kerelaan berkorban demi bangsa dapat membuat yg lemah menjadi kuat, yg kuat mengasihi yg lemah, dan memantik solidaritas bangsa menjadi bangsa yg merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Antara Karawang-Bekasi, ada perjalanan simbolik tentang pentingnya menjaga penggalian Soekarno tentang Pancasila, komitmen Hatta tentang demokrasi, dan upaya Sjahrir memperjuangkan nasionalisme dan sosialisme kemanusiaan. Masa depan pemikiran bangsa terletak pada semangat para penerus bangsa mengisi kemerdekaan.
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata, tulis Chairil Anwar yg berarti perjuangan para pahlawan akan menjadi sia-sia jika kemerdekaan tidak diisi gelora nasionalisme dan kebhinekaan demi membangun bangsa.
Antara-Karawang-Bekasi, ada panggilan untuk membaktikan hidup kita demi bangsa dan negara.
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan.