Pengarang/Komikus Kho Ping Hoo

FOTO-BOKS1-e1566071347705.jpg

Asmaraman Sukowati atau Kho Ping Hoo lahir di Sragen pada 17 Agustus 1926. Anak ke-2 dari 12 bersaudara pasangan Kho Kiem Poo dan Sri Welas Asih itu hidup penuh keprihatinan. Sejak belia, Kho Ping Hoo terbiasa kerja serabutan dan upahnya diserahkan kepada sang ibu yang berprofesi sebagai pedagang di pasar. Dia sangat menyayangi ibunya. Dari sang ibulah dia mengenal banyak pelajaran dan petuah-petuah tentang kehidupan. Ibunya pandai bercerita dan merangkai kalimat-kalimat bijak yang mudah dipahami anak-anaknya.

Kemampuan bercerita itulah yang kelak menurun kepada Kho Ping Hoo sehingga lihai menuliskan cerita-cerita yang menarik dalam setiap karyanya. Sedangkan dari sang ayah, dia mencontoh kebiasaan membaca buku, terutama buku-buku filsafat yang menjadi kegemarannya. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 1 di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Kepiawaian menulisnya terasah secara otodidak.
Kho Ping Hoo mengawali karir menulisnya tahun 1956, saat tinggal di Tasikmalaya. Awalnya, dia menulis cerpen roman percintaan di majalah Selecta, Pancawarna, Star Weekly, dan lain-lain. Bersama beberapa penulis di kota itu, dia mendirikan majalah Teratai sebagai wadah bagi komunitas penulis. Untuk mendorong penjualan Teratai, mereka punya ide memuat cerita-cerita silat yang waktu itu diminati masyarakat.

Kho Ping Hoo lalu menghubungi Oey Kim Tiang, seorang penulis dan penerjemah cerita silat Mandarin yang terkenal saat itu, untuk menyumbangkan karyanya ke Teratai. Namun, permintaan tersebut ditolak. Penolakan Oey Kim Tiang itulah yang membuat Kho Ping Hoo memberanikan diri untuk mencoba menulis sendiri cerita silat, bukan menerjemahkan seperti Oey Kim Tiang. Sebab, dia memang tidak bisa membaca huruf Mandarin.

Sejak saat itu Kho Ping Hoo rutin menulis cerita silat Mandarin. Judul cersil pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih (Pek-liong Po-kiam). Di tahun-tahun selanjutnya, cersil karyanya terus mengalir deras dan makin digemari pembaca. Selain cersilnya dimuat di majalah, Kho Ping Hoo juga menerbitkan sendiri karya-karyanya lewat penerbit Jelita yang didirikannya serta mengedarkannya sendiri ke toko-toko buku dan persewaan komik yang pada masa itu menjamur di berbagai daerah.

Setelah menetap di Mertokusuman, Solo, pada1964, Kho Ping Hoo mendirikan CV Gema, percetakan dan penerbit karya-karyanya selanjutnya. Dalam catatan CV Gema, Kho Ping Hoo sudah menulis 133 judul cersil, baik judul lepas maupun serial. Terdiri atas 110 judul cerita silat Mandarin dan 23 judul cerita silat berlatar budaya Indonesia. Tiap-tiap judul terdiri atas puluhan jilid. Yang terbanyak adalah Jodoh Rajawali, 62 jilid.

Data itu belum mencakup karya-karya awal saat Kho Ping Hoo masih berada di Tasikmalaya. Sepeninggal Kho Ping Hoo, CV Gema dipimpin Bunawan Sastraguna, sang menantu, dibantu anak-anak Kho Ping Hoo yang lain hingga sekarang.

Bunawan mengembangkan CV Gema dengan mencetak ulang karya-karya Kho Ping Hoo yang hingga kini masih sangat banyak penggemarnya. Seri Bu Kek Siansu adalah yang paling banyak dicetak ulang. Dan, dari 17 judul di seri itu, Pendekar Super Sakti merupakan judul yang paling laris. “Kami tidak ingat lagi sudah berapa kali cetak ulang,” terang Bunawan.

Pembeli cersil Kho Ping Hoo tersebar bahkan hingga mancanegara. Tercatat, ada pembeli dari Amerika, Belanda, Australia, Arab Saudi, dan Taiwan. Ada juga pembeli yang memborong dalam jumlah besar semua judul, baik untuk koleksi pribadi maupun perpustakaan.

“Ada lagi jenis ‘pembaca balas dendam’, yakni mereka yang saat remaja dulu sering dimarahi orang tuanya lantaran lebih suka baca komik daripada belajar dan kini, saat mereka sudah sukses dan kaya, mereka borong semua judul karya Kho Ping Hoo untuk dibaca sesuai urutan serialnya,” imbuh Bunawan.

Beberapa sinetron yang ditayangkan televisi Indonesia juga memiliki kemiripan cerita dengan novel Kho Ping Hoo. Beberapa di antaranya adalah sinetron serial Angling Dharma yang mirip dengan alur cerita Bu Kek Siansu dan sinetron serial Misteri Gunung Merapi yang mirip dengan Alap-alap Laut Kidul (Lindu Aji) dan Bagus Sajiwo. Padahal dalam cerita asalnya, Misteri Gunung Merapi lebih bernuansa daerah Sumatra dengan Gunung Sorik Marapi-nya. Tidak diketahui apakah ini merupakan kebetulan ataukah bukan.
 
Karyanya ada yg dimuat jadi cerbung di majalah. Misalnya di Ria Film dan Selecta. Yg dimuat di Selecta berjudul Dendam si Anak Haram. Saya ingat karena waktu SD dulu sempat ikut baca, ada ilustrasinya yg vulgar. Ini malah nemu ada yg posting di FB. :X3:
Yg versi buku, ilustrasinya nggak sevulgar ini. Digambar tampak belakang.
Log in or register to view this content!
 
Karyanya ada yg dimuat jadi cerbung di majalah. Misalnya di Ria Film dan Selecta. Yg dimuat di Selecta berjudul Dendam si Anak Haram. Saya ingat karena waktu SD dulu sempat ikut baca, ada ilustrasinya yg vulgar. Ini malah nemu ada yg posting di FB. :X3:
Yg versi buku, ilustrasinya nggak sevulgar ini. Digambar tampak belakang.

dulu media cetak kayak bebas bgt ya bikin ilustrasi,
 
Dulu ingat baca sampe lupa tidur saking menariknya. Apa bisa dikumpulin semua bukunya dan dimasukan ke dalam forum. Jadi pada bisa kembali bernostalgia lagi. Novelnya benar2 seru dan menarik.
 
beliau ini kakek nya desta kan ya?
 
jaman belum ada gadget...ini slalu dibawa saat nongkrong di WC... apa ada yang sama? hehe jadi malu...
 
Di toilet, saya bawa tentara2an plastik, soalnya bisa mengapung, berenang di bak. Sambil tembak2an. :LOL:
 
Back
Top